Kampung Baduy – Provinsi Banten

By 02.55.00 , , ,

Orang Baduy tinggal di kawasan perbukitan gunung Kendeng, Banten. Selama ratusan tahun mereka selalu menjunjung adat tradisi secara turun-temurun untuk selalu hidup seiring dengan alam. Membangun perkampungan dilereng-lereng bukit yang asri ditepi sungai bararus deras dengan air yang jernih menerpa bebatuan melengkapi suasana alam yang damai.

Di pagi hari hampir semua masyarakat Baduy memulai aktifitasnya sebagai petani pergi ke ladang. Para gadis dan wanita menenun kain untuk mereka pakai sendiri atau dijual ke tamu-tamu yang berkunjung sebagai cendramata. Keceriaan anak-anak bermain di sekitar kampung karena secara adat mereka dididik dari alam dan orang tua mereka sendiri. Di Baduy tidak pernah didirikan sekolah formal moderen seperti pada umumnya sehingga etnis Baduy tidak mengenal baca tulis. Bahasa yang mereka gunakan adalah  Sunda dengan dialek Sunda Kulon. Setiap orang yang mengerti bahasa Sunda tidak ada kesulitan berkomunikasi dengan mereka karena perbedaannya hanya di dalam intonasi pengucapannya saja. Sementara bahasa Indonesia biasanya hanya dimengerti oleh kaum muda Baduy.

Hidup bersama alam, memberikan jiwa yang tenang dan damai buat orang Baduy karena  diperkampungan mereka tidak diperbolehkan ada kendaraan bermotor, tidak ada radio atau televisi, tidak memerlukan penerangan dari sumber energi listrik   dan segala bentuk yang dihasilkan dari kebudayaan moderen.

Tempat-tempat yang menarik di Baduy antara lain adalah , Rumah adat orang Baduy yang dibuat seragam. Tidak ada kaya atau miskin, mereka membuat rumah tradisional yang hampir sama terbuat dari Bambu, Kayu dan beratap Ijuk atau daun sejenis Pandan. Lumbung padi juga memiliki daya tarik tersendiri, dengan bentuk khas sebagai tempat penyimpanan hasil panen Padi yang tahan untuk bertahun-tahun sebagai cadangan untuk persediaan pesta atau kekuarangan pangan karena kemarau panjang. Untuk memproses dari padi menjadi beras mereka tidak menggunakan mesin, melainkan masih menggunakan alat tradisional penumbuk berupa Lisung dan Alu yang biasanya dikerjakan oleh para wanita Baduy. Membuat gula Enau juga salah satu mata pencaharian di sana. Gula Enau atau Aren menjadi hasil pertanian yang banyak diminati masyarakat luar Baduy karena selain rasa dan aroma gula Aren / Enau yang manis dan harum juga baik untuk dibuat minuman kebugaran tubuh.

Keindahan sungai Ciujung yang mengalir sepanjang perkampungan Baduy menjadi daya tarik tersendiri, selain ber air jernih dan belum tercemar, juga arus derasnya banyak diminati para pendatang untuk menyempatkan berenang dan mandi di sungai karena kesempatan ini tidak mungkin didapat di sungai-sungai diperkotaan.

Pakaian mereka hanya mengenal 2 warna yaitu Hitam atau warna gelap ( biru tua ) untuk orang Baduy Luar dan Putih untuk Baduy Dalam. Ikat kepala yang mereka namakan Udeng selalu dikenakan oleh para lelaki baik masih kanak-kanak maupun dewasa. Sementara gadis dan wanita Baduy selalu mengenakan pakaian bermodel kebaya dan kain.

Cara mencapai ke perkampungan Baduy cukup mudah dijangkau selama 4 jam dengan kendaraan dari Jakarta. Kualitas jalan dari Jakarta sampai ke Rangkasbitung sangat baik dan lebar. Lanjutan ke desa terdekatpun  masih sekitar 40 km sudah beraspal. Meskipun tidak selebar sebelumnya, tetapi sudah diaspal halus dan menyajikan pemandangan perbukitan yang menghijau.

Kampung Baduy pada umumnya dapat dikunjungi setiap saat. Tetapi karena seluruh kegiatan di Baduy dilakukan dengan berjalan kaki, sebaiknya hindari musim penghujan yang panjang seperti Novemember – Februari. JIka hujan hanya turun dua tiga kali seminggu, masih dapat direkomendasikan untuk kunjungan ke sana karena biasanya apabila masih ada musim hujan, pada malam hari kita masih berkesempatan melihat kunang-kunang yang jumlahnya ribuan berkelap-kelip di sekeliling kampung.

Apalagi  tiba saatnya tiba malam bulan purnama, suasana malam di sana sangat mengesankan. Tradisi orang Baduy yang terbiasa hanya menggunakan penerangan dari lampu minyak sayur itupun hanya di dalam rumah, maka diluar rumah cahaya Bulan dan Bintang memberikan penerangan yang dominan menerangi perkampungan. Serasa Bulan dan Bintang begitu dekat dengan Bumi. Nyaris seperti hidup pada abad 12 ketika teknologi moderen seperti energi listrik, semen, telepon, radio belum ditemukan.

Joko Langen


View the original article here

You Might Also Like

0 comments