Mari Belajar ke Swiss

By 15.48.00 ,

MULAI 6 hingga 9 Juli besok, Presiden Swiss Doris Leuthard berkunjung ke Indonesia. Dalam kunjungan kenegaraan itu, ikut sejumlah pejabat tinggi negara dan pengusaha papan atas. Mereka akan mengunjungi sejumlah proyek di Jakarta dan Surabaya. Meski terkenal sebagai negara kaya, mereka cukup naik pesawat komersial. Tidak perlu menyewa, apalagi membeli pesawat sendiri. Orang Swiss terkenal sangat efisien.

Memang, ketika saya tiba di Swiss pada Maret lalu, sebagai mantan wartawan dan anggota DPR, perhatian saya langsung tertarik pada masalah sistem politik di Swiss, khususnya parlemen. Tentu saja ini terkait dengan segala macam hiruk-pikuk di DPR. Termasuk, usul yang agak aneh: minta dana konstituensi Rp 15 miliar per anggota.

Sebelum ke Swiss, pemahaman saya tentang demokrasi hanya dua. Yakni, sistem parlementer ala Westminster di Inggris atau sistem presidensial di Amerika Serikat. Tapi, sekarang harus saya koreksi karena ada sistem demokrasi langsung atau direct democracy ala Swiss.

Sistem demokrasi langsung tersebut sudah lama menjadi tradisi dan setidaknya dalam konstitusi Swiss 1849 sudah dicantumkan. Inti sistem itu adalah kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan oleh rakyat. Dalam sistem tersebut, semua kebijaksanaan pemerintah yang memengaruhi hajat hidup orang banyak bisa dibatalkan bila tidak didukung mayoritas rakyat melalui mekanisme referendum.

Misalnya, ketika Swiss memutuskan menjadi anggota PBB, hendak membubarkan tentara, dan terakhir tentu saja soal menara masjid. Referendum bisa berasal dari inisiatif pemerintah maupun rakyat. Setiap warga Swiss berhak mengajukan referendum untuk membatalkan keputusan parlemen, asalkan bisa mengumpullan 50.000 tanda tangan yang mendukungnya dalam tempo 100 hari sejak UU disahkan parlemen.

Misalnya, parlemen Swiss dan pemerintah memutuskan pembangunan pusat listrik tenaga nuklir (PLTN). Jika ada rakyat yang tidak menyetujui, mereka bisa membatalkan melalui mekanisme referendum.

Lantaran sebuah undang-undang atau peraturan bisa dibatalkan melalui referendum, parlemen dan pemerintah tidak sembrono dalam mengambil keputusan. Akibatnya, pengambilan keputusan atas sebuah undang-undang sangat lamban karena harus memperhatikan saran dan pendapat dari banyak pihak, khususnya para stakeholders.

Parlemen Swiss adalah lembaga yang sangat dipercaya masyarakat. Mengapa bisa demikian? Salah satu penyebabnya, anggota parlemen Swiss tidak terlalu tamak dengan uang dan fasilitas. Mereka tidak digaji tetap dan tidak menerima pensiun dari jabatannya tersebut. Karena itu, terasa sangat aneh kalau ada anggota DPR yang sampai meminta jatah Rp 15 miliar, meski dengan dalih untuk konstituennya.

Memang, menjadi anggota DPR di Swiss merupakan sebuah pengabdian. Tidak untuk mencari pekerjaan. Meski tidak menerima gaji, anggota parlemen di sana menerima bantuan transportasi, sewa hotel atau apartemen, serta bantuan sekretariat atau urusan kantor yang jumlahnya dalam setahun hanya sekitar USD 100.000. Jumlah itu tampak banyak. Tapi, jika dibanding pendapatan per kapita rakyat Swiss yang USD 64.000, jumlah tersebut relatif wajar.

Staf politik KBRI Bern belum lama ini membuat kajian perbandingan dengan Indonesia. Anggota DPR RI menerima gaji dan fasilitas yang dalam setahun mencapai Rp 1,5 miliar atau hampir USD 150.000. Itu jelas sangat tinggi. Jumlah tersebut, bagi banyak pihak, dirasa mengagetkan karena fasilitas itu diberikan kepada anggota DPR yang rakyatnya hanya berpenghasilan USD 2.300 per tahun.

Jika dibanding UMR di Swiss, anggota DPR Swiss rata-rata hanya menerima empat kali rata-rata UMR. Sebab, UMR Swiss adalah 3.300 franc Swiss. Jika anggota DPR mau meniru gaji atau fasilitas seperti di Swiss, mereka semestinya hanya menerima sekitar Rp 6 juta. Dengan ”normal”-nya gaji atau fasilitas anggota DPR tersebut, tidak banyak keluhan terhadap mereka. Sebaliknya, di Indonesia, rakyat layak marah kalau kinerja mereka sangat buruk karena gaji dan fasilitas DPR sekitar 100 kali lebih dari rata-rata UMR.

Di Swiss, bukan hanya anggota DPR yang hidup secara wajar. Misalnya, ke mana-mana naik trem, bus kota, atau KA yang memang terkenal tepat dengan jadwal. Para menteri pun hidup normal. Karena itu, tidak heran, sesekali kita ketemu menteri yang sedang menunggu bus atau trem. Belum lama ini, saya ketemu seorang pejabat setingkat menteri negara lingkungan hidup. Dia terheran-heran ketika saya tanya soal mobil dinasnya. Bagi dia, tidak perlu mobil karena ke mana-mana bisa naik kendaraan umum atau malah naik sepeda saja.

Warga Swiss sangat prihatin terhadap lingkungan hidup sehingga listrik boleh diproduksi hanya dengan tenaga air atau nuklir. Batu bara dan sumber energi lain-lain yang merusak lingkungan dilarang keras. Karena transportasi efisien dan tepat waktu, sangat jarang orang Swiss yang menggunakan kendaraan pribadi. Mobil pribadi hanya dipakai pada waktu weekend.

Swiss juga terkenal produktif dan efisien. Tidak heran, dengan penduduk 7,7 juta jiwa, mereka bisa mengekspor hampir USD 200 miliar per tahun. Bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk 230 juta yang hanya mengekspor sekitar USD 120 miliar. Jelas, kita kalah produktif dari warga Swiss. Karena itu, sudah waktunya kita perlu belajar ke Swiss, negara kecil tapi indah dan produktif.


View the original article here

You Might Also Like

0 comments